Percayakah kawan setelah malam pernikahan, dengan siapa pun, suamiku berubah menjad binatang Kadang serigala, harimau, singa, kadang pula anjing, babi atau bermacam-macam rupa binatang lainnya, Perupaan tersebut tak pernah berakhir kecuali saya resmi bercerai denganya.
Kalian tidak harus mempercayai pada sebuah cerita ini. Pada usia yang baru menginjak dua puluh lima tahun, saya telah menikah enam kali dengan laki-laki yang berbeda, seperti pernikahan sebelumnya, tak pernah berumur lebih dari satu bulan. Pernikahan saya yang ke enam hanyalah sepuluh hari. Umpatan betapa saya perempuan yang gemar gonta-ganti pasangan menjadi buah bibir semua orang dan siap petik kapan saja.
Air mataku tentu saja menetes. Saya sangatlah tersiksa namun di suatu sudut lain saya memang merasa pantas menerima dengan pernikahan yang tak pernah berujung sakinah-mawadah-rahmah. Takkan ada yang ingin seperti ini? Bermimpipun tidak.
Saya pasrah akan takdir ini. diriku bukanlah tipikal orang yang suka memandang dunia dengan segala kesulitan. Karena sejatinya hidup ini tidak ada kata sakit apalagi tersakiti. Yaaah, persoalannya sederhana saja, karena perasaaan kita sendirilah yang kerap menyiksa diri sendiri. Hanya saja persoalan sederhana terkadang tidak bisa dipikirkan secara sederhana pula.
Saya memang sudah menikah enam kali dengan lelaki berbeda. akan tetapi bunga kesuburan saya tetap ranum, mekar tak tersentuh. Tak ada satu pun diantara keenam kelaki itu yang berhasil memetiknya. Ketika matahari sempurna merebahkan diri di pangkuan cakrawala, suamiku mengajak tidur, sesosok binatang menggeliat penuh dengan nafsu. Perempuan mana yang tak ketakutan bila tiba-tiba suaminya berubah demikian rupa. Semua kembali normal ketika cahaya fajar berpintal dan memanjang di ufuk timur.
Kerap secara tiba-tiba kekasih pertama yang aku tinggalkan sebelum pernikahan pertama bertandang di dalam pikiranku. Begitu banyak alasan yang membuat diriku memilih lelaki lain daripada menikah dengan dirinya, namun rasanya kurang bijak bila aku harus memaparkan alasan tersebut. Kau takkan pernah bahagia kecuali menikah denganku, tukasnya sebelum pergi dengan luka yang menganga dan sorot mata serupa duri siwalan. Seperti ditarik, perasaan selalu menarik diriku ke sana. Bertekuk lutut tak apa asal dapat menemukan kebahagiaan, meski sekarang diriku tidak tahu dimana keberadaannya.
Entah dengan pernikahan yang ke tujuh kalinya. seorang lelaki yang menjadi pilihan ibuku. Ibuku berkata, ia sempurna. Wajahnya teduh dengan mata yang serupa pendar langit. Tunggu. Bukankah keenam lelaki sebelumnya juga berwajah sama, teduh dengan mata serupa tatapan malaikat?. Perempuan mana yang tak akan tergoda dengan tatapan seperti itu. Dan, semuanya berubah menakutkan. Ah, sudahlah. Apapun yang telah terjadi, aku yakin pilihan ibu sebaik-baiknya pilihan. Sudah seharusnya diriku memberikan kesempatan kepada perempuan bermata intan itu setelah berkali-kali saya tolak pilihannya.
Dek, mari salat. Sebentar lagi tiba waktu sholat ashar, tukas lelaki ketujuh itu. Akupun beranjak mengikuti langkahnya dan beranjak pergi. Dirinya berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahanku dengan lelaki pertama, barulah lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya sebagai manusia beragama.
Selesai salat, selayak seorang istri, saya mencium tangannya. Berdoalah. Minta apa yang adik Taris inginkan. Kata-katanya sungguh bagai aliran telaga yang sangat menyejukkan jiwa. Akupun mengangguk. Ia menengadahkan tangan dengan khusyuk. Saya mengikuti. Lambat-lambat, terlantun doa dari bibirnya yang lembut. Amin.
Adek, bangun. Waktunya salat tahajjud, dia mengguncang-guncang pundakku. Dan akupun menggeliat pelan.
Dek, sudah waktunya Salat Tahajjud, Ucapnya lagi. Saya membuka mata. Pelan-pelan. Ya, Tuhan! Seekor serigala dengan seringai menyeramkan siap menerkamku. Akupun memejamkan mata. Menutup diri dengan selimut.
Pergi..! Jangan mendekat. Aku menggerang di pojok kamar. Wajahnya menjelma bunglon. Bersisik tajam dengan kelopak mata semerah darah.
Dia berkata : dek, apa yang terjadi? Ada apa denganmu? Suara itu lembut namun tampak ditekan.
Pergi!!!
Ini hanya halusinasi. Saya harus melawannya. Sholatlah duluan. Taris menyusul, akhirnya.
Terdengar langkah-langkah menjauhi kamar. Lalu bunyi pintu. Derek engsel. Hening. Saya membuka mata. Menatap langit-langit kamar. Lagi dan kesekian kali, aku mengusir suamiku yang seharusnya aku manja dengap pelukan. Bagaimana aku bisa merebahkan kepala di dadanya agar diriku menemukan sebuah ketenangan?. Sementara setiap kali matahari terbenam, perupaan binatang tak ada henti-hentinya.
Pagi masih belum sempurna ketika dirinya menggenggam tanganku dan mengajak jalan-jalan mengitari perkampungan. Menikmati udara pagi dan melihat lambaian daun siwalan yang menghijau. Satu hal yang sangat indah di pagi itu adalah wajahnya tak berubah keruh setelah semalam Aku usir dengan kasar.
Apa yang terjadi semalam?
Aku duduk di pondok bambu di sebuah pematang sawah menghadap matahari yang perlahan terbit. Aku menghela napas dan menghembuskan secara perlahan. berharap semoga semua bisa terjawab pagi ini.
Setiap malam halusinasi itu pasti datang. Perubahan perubahan wajah pada semua orang yang menjadi suami Taris. Taris tidak tahu apa penyebabnya. Semuanya kembali normal ketika adzan Subuh berkumandang. Aku melihatmu menjadi seekor bunglon dan serigala. Kejadian seperti ini sudah berlangsung lama, sejak pernikahan pertama. Rasanya Tarislelah sekali.
Saya bisa mengerti. Mari bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit itu. Dik Taris tidak keberatan kan jika saya sebut penyakit? Tidak. Aku memang selalu menganggap ketidak wajaran adalah penyakit. Ibuku juga selalu bilang bahwa apa yang Taris rasakan adalah penyakit. Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan berdoa.
Matahari sudah tinggi, mari kita pulang sekarang, katanya seraya membantuku untuk berdiri. Sudah dua bulan lima hari kami menikah. Selama itu pula aku tidak pernah tidur dengan suami. Setiap matahari kembali ke peraduan, dia selalu menjauh. Akupun sampai bertanya, tidakkah bosan dengan keadaan seperti ini? Bukankah pernikahan itu hanya sebagai alat pemuas nafsu?.
Itu adalah anggapan yang salah. Keinginan biologis tentunya pasti ada. Akan tetapi tujuan menikah semata karena untuk menyempurnakan agama. Tahukah Dek Taris bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu berbeda?. Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan datang dari hati. Kesenanganlah yang membuat diri kita tidak pernah puas, tukasnya.
Lalu apa gunanya jika seorang istri tidak bisa memanjakan sang suami?.
Soal Dek Taris tidak bisa melaksanakan kewajiban layaknya sebagai seorang istri, saya ikhlas. Mungkin ini adalah cobaan bagi saya, bagi keluarga kita.
Saya tatap-lekat wajahnya yang bening. Mata yang tak jauh berbeda dengan pendar langit pagi. Mata itu seolah memberi energi kesabaran kepada diriku. Dan air matapun tak bisa aku sembunyikan.
Ia berdiri di ambang pintu. Krek. Krek. Tangannya membandul daun pintu berulang ke depan dan ke belakang. Sesekali memainkan gerendel pintu. Tampaknya ada sesuatu yang dicarinya. Entah apa. hubungan tak lepas dari perhatiannya.
Dia mundur dua langkah. Pandangannya ke depan yang tak terbatas. Diam cukup lama, lalu kembali lagi posisi semula, dan maju dua langkah hingga kedua kakinya menyentuh tanah. Ia menatap langit.
Aneh..!!! desisnya setelah melintasi pintu berulang kali.
Ada apa?. saya coba memberanikan diri bertanya.
Tidak apa-apa kok. Sudah sholat dek?
Ya sudah.
Air mukanya tampak keruh. Akupun terdiam tidak tahu harus berkata apa. Tanpa memberitahu, Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan dalam pikirannya.
Coba ke sini dek.
Akupun mendekat.
Pandangilah langit itu.
Saya manut.
Sekarang adek lewati pintu itu dan pandangi lagi langit yang tadi kamu pandang.
Akupun melewati daun pintu dan memandang langit pada titik yang sama.
Apa Dek Taris merasakan sesuatu yang janggal?.
Akupun terhenyak dan kaget. Benar. Langit tampak berbeda. Lebih hitam dan lebih gelap. aku mendekat ke sisinya dan kembali memandang langit pada titik yang sama. Langit tampak lebih cerah. Lebih berenergi.
Menapa bisa berbeda?.
Entahlah. Saya juga tidak tahu. Nanti saya coba tanyakan pada Kiai Zainur, tukasnya. Kiai Zainur adalah pengasuh pesantren di mana suami saya menimba ilmu agama.
Mega belum sepenuhnya menghilang saat Kiai Zainur mengetuk daun pintu. Saya sudah mengunci pintu kamar sebelum gelap menancapkan cakarnya. Saya mencuri pandang dari celah-celah pintu. Keduanya, guru dan murid itu, terlibat sebuah percakapan serius.
Adzan Maghrib berkumandang. Suamiku mengetuk pintu kamar, mengajak salat berjamaah. aku seakan jadi cemas. Membayangkan rupa bagaimanakah yang akan aku temui. Pelan daun pintu saya buka dan saya menutup mata serapat-rapatnya.
Buang rasa takut itu. Dia suamimu, tukas Kiai Zainur.
Saya masih belum berani menyingkirkan kedua telapak tangan dari muka saya, hingga sepasang telapak tangan memberikan kekuatan keyakinan dan keberanian betapa yang hadir di hadapanku adalah sebenarnya suamiku. Senyum dan pandangannya adalah sebenarnya imam dalam hidup. Perlahan sepasang tangan itu menyibak tangan saya. ketakutan seketika menghilang oleh senyum yang mengembang dari sudut bibirnya.
Kiai Zainur duduk khidmat di atas hamparan sajadah. Ia meminta segelas ait putih. Tasbihnya berputar-putar. Dengan sebuah isyarat ia meminta kami mengikuti apa yang diucapkannya. Selesai berdoa dan meniup air putih, Kiai Zainur melangkah ke beranda. Langkahnya cukup pelan, tegak, dan berwibawa. Pintu terbuka. Segelas air putih itu disiramkan pada undakan tanah di depan pintu. Pada tanah basah itu, dia menyuruh suamiku menggalinya dengan tangan. Selang beberapa menit, ada yang tampak di permukaan. Sehelai kain usang. Panjangnya kira-kira dua jengkal. Suami saya segera menyerahkannya.
Sehelai kain kafan, tukas Kiai Zainur.
Kami bersipaku. Diam dalam bahasa masing-masing, mempertanyakan kain itu mengapa bisa terpendam di depan pintu rumah. Sesungging senyum dari masa lalu tiba-tiba hadir dalam pikiran. Tetapi saya tak berniat untuk menceritakannya. Ada orang yang menginginkanmu, tukas Kiai Zainur.
Mimpiku seakan terjawab sudah.
Bulan menggantung di pelepah siwalan. Dua buah bohlam dikerubung serangga-serangga malam. Gigil, tentu saja. Paras bulan sempurna rebah di wajahnya yang teduh. Matanya serupa langit berbintang. Parasnya tak lagi buas dan menyeramkan. Kami menghabiskan separuh malam dengan dzikir. Tentu, setelah kami tunaikan kebahagiaan yang sempurna.
Share this:
Found an article helpful? Donate via Paypal
Related Posts
Show Disqus Comment Hide Disqus Comment