Guna-guna yang menggunakan tanah kuburan memang sangat ganas dan sangat jarang ada pengusaha yang bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan dalam waktu singkat bisa jadi bangkrut. Tak hanya bangkrut, bahkan pengusaha yang bersangkutan akan dililit hutang dalam jumlah yang besar hingga menjual semua yang dimilikinya. (Mitosnya seperti itu). Sejumlah pakar kebathinan yang sempat dimintai keterangannya tentang keganasan guna-guna tanah kuburan, rata-rata mereka sudah tahu sejak lama tentang hal tersebut, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan adalah guna-guna yang cukup tua di tanah Jawa. Karena ganasnya guna-guna tersebut, tidak aneh jika jadi hal yang menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang. Ada seorang supranatural muda cukup mumpuni, kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan untuk media guna-guna penghancur usaha. Penyalahgunaan tanah kuburan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu. Seorang pemerhati dunia gaib kerap mengelus dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat yang menggunakan media tanah kuburan. Astaghfirulloh, kenapa mesti harus menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen? menurutku. Ibarat pepatah, tiada penyakit yang tak ada obatnya. Jika di ibaratkan penyakit, sebuah guna-guna tanah kuburan masih punya tandingannya. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan bisa dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan media pasir kali dan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Tanah kuburan untuk media guna-guna tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang telah ahli di bidang itu. Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan sebuah ter0r gaib yang sangat mengerikan. Berikut ini adalah kisah nyata ⧫ Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur tersebut memisahkan diri dari ramainya ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu telah tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa yang teramat berat. Jono duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki sore hari. Pemandangan seperti itu, tentu saja sangatlah kontras dan tak lazim. dirinya seperti berupaya megeluarkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putranya yang kini bangkrut dan gulung tikar. Menyaksikan kemajuan usaha Idin, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun jadi semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar-pasar. Sejak sa'at itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios idin terus berkurang. Tetapi, bagi Idin hal itu hanyalah dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar. Stelah beberapa lama, naluri Idin merasakan ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan saja, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarganya. Tr4gisnya lagi, puluhan pelanggan kabur sambil membawa hutang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Idin kalang kabut mencari dana pinjaman untuk menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal tersebut. Bukan itu saja, pada bulan ke tiga, Idin dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan sebuah rasa takut, Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal di malam hari di sekitar Pasar, sempat membicarakan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Idin. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Idin. Pembicaraan itupun akhirnya terdengar oleh Idin. Untuk membuktikannya, sekitar pukul satuan, Idin seorang diri menyelinap ke lorong Pasar, yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Karena sudah jam 1, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanyalah di sisi jalan alternatif penghubung desa saja, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam. Berselang hanya dua kios dalam posisi berseberangan, Idin mengambil tempat pengintaian yang dirasanya aman. Untuk bersembunyi, diapun duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong. Lewat bantuan cahaya sudut kios, diliriknyajam tangannya, menunjukkan pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap ke arah kiosnya yang sengaja tak diberi penerangan sehingga suasana samar hanyalah cahaya sisa lampu dari kios lain di sebelahnya. Dia meragukan pembicaraan para pedagang, ketika idin mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas di pikranya niat untuk pulang, detak jantung Idin mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dirinya menyaksikan sosok mayat terbungkus kain kafan, yang muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios. Pocong itu bergerak lembut dan makin lama semakin jelas, setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah dan diikuti gerakan tubuhnya. Idin yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepitnya pelan-pelan dia lepas. Nalurinya memang tepat. Pocong itupun melompat-lompat menuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Idin bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Idin melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula dan lari menjauhi arah datangnya pocong. Idin lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Idin menerobos memasuki warung dan di sambut pekikan kaget pelayan yang tengah mengantuk. Keesokan paginya, peristiwa itupun dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Jono yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Alloh dan memperbanyak wirid. Dari kios kue milik Idin, t3ror itupun berpindah ke rumah Idin. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya dit3ror dengan suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang di sertai bau tak sedap menerobos melalui celah daun jendela. Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Idin minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Jono tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersebelahan dengan ruang tamu ditempati Idin bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Idin membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya. Malam Selasa Kliwon di bulan ke enam, Jono gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuatnya gerah. Untuk mendapatkan udara segar, Jono membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dini hari, muncul Idin dari ruang tempat sholat yang bersatu dengan kamar dapur. Idin saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Idin pun tak tahan kegerahan di ruang sholat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu. Angin malam lumayan sejuk memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang sudah mulai usang, Jono menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya. Ngantukpun mulai di rasakannya. Jono mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Idin masih melanjutkan bacaan wiridnya. Dirasa tubuhnya mulai segar serta ngantuk mulai tak tertahankan, Jono bermaksud menutup daun pintu dan akan merebahkan tubuhnya di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat dirinya bangun dari tempat duduk, lewat celah jendela dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak di iringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil. Bau buesuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Jono dan Idin. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sosok mayat hidup alias pocong. Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Jono menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur. Kulit wajah mahluk itu tak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah. Mahluk itu bukan menatap Jono melainkan menghadap lurus ke arah Idin. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Idin. Jono tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan. Diser4ng mahluk Pocong, secara refleks, dan sekuat tenaga Idin menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Idin terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Idin hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat al-qur'an sama sekali tidak pernah mau terucap. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu. Idin pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dirinya yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya. Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Idin ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata. Dirinya benar-benar pasrah. Dalam benaknya, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Idin menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya. Pocong itu tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu..! Ayo. bangun!. Kata Jono, setengah membentak. Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Idin menyambangi seorang Guru ngajinya semasa kecil. Jono menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. dori, sang guru, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dengan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya. Astaghfirulloh, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan. Untung kalian tidak sampai pingsan jika sampai pingsan, naudhubillah, hanya Alloh yang tahu terhadap batas umur mahlukNya, terang H. Dori. Beberapa saat kemudian, H. Dori minta izin masuk ke kamar tempat dirinya sholat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah yang penuh keringat. Dengan suara serak, H. Dori menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan sejak enam yang bulan lalu. Tapi, H. Dori tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Idin. Atas saran H. Dori, sebulan kemudian kios itupun dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Idin untuk mengurangi hutangnya. Dalam keadaan tak punya modal sepeserpun, Idin terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan, hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan dapurnya, dan setahun kemudian, idin terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia bagian sopir..

Share this:

Related Posts

Show Disqus Comment Hide Disqus Comment

Disqus Comments